Selasa, 25 September 2012

Materi : Geografi :perindustrian




Syarat mendirikan perusahaan perorangan
Syarat pendirian perusahaan perseorangan bisa dikelompokkan menjadi 3 aspek penting, yaitu modal, pembukuan dan pembayaran pajak.

Pertama, Anda sebagai entrepreneur harus menemukan sumber modal yang sesuai. Anda bisa pertimbangkan tabungan pribadi, pinjaman dari keluarga atau teman, pinjaman bank dan sebagainya. Jumlah modal yang diperlukan juga harus dikalkulasi dengan akurat.

Kedua, untuk menyusun pembukuan, Anda perlu mencantumkan poin-poin berikut ini:
  • Keadaan kekayaan perusahaan
  • Kebutuhan perusahaan
  • Perjanjian kerja
  • Surat, dokumen, korespondensi yang masuk dan keluar
  • Laporan per periode (bisa per bulan, kuartal, tahun)
  • Arsip
Ketiga, pembayaran pajak juga harus diperhatikan. Jenis-jenis pajak yang dibayarkan kepada negara ialah:
  • Pajak penghasilan
  • Pajak pertambahan nilai barang dan jasa
  • Pajak penjualan atas barang mewah
  • Pajak bumi dan bangunan
Prosedur mendirikan perusahaan perseorangan
Sebenarnya tidak ada aturan yang mengikat dalam pendirian perusahaan perseorangan. Akan tetapi biasanya orang mengikuti prosedur berikut ini untuk mendirikan sebuah perusahaan perseorangan.

Ijin permohonan usaha dari Dinas Perdagangan di wilayah setempat (izin usaha). Syarat-syarat untuk mendapatkan ijin usaha adalah fotokopi KTP pemegang saham perusahaan, fotokopi NPWP, surat keterangan domisili atau SITU, neraca keuangan perusahaan, materai senilai Rp. 6000.

Ijin permohonan tempat usaha dari Pemda setempat juga harus dikantongi. Untuk itu Anda harus menyerahkan proposal berisi rencana dan uraian lengkap usaha yang akan didirikan , termasuk biaya modal usahanya.Setelah itu isi beberapa formulir yang sudah dipersiapkan. Jangan lupa untuk sertakan denah lokasi usaha Anda. Beberapa fotokopi juga perlu disiapkan yaitu fotokopi KTP pengurus perusahaan, NPWP dan surat bukti kepemilikan
tanah dan/ atau bangunan yang dijadikan lokasi usaha.
Perindustrian: Menentukan Lokasi Industri
2. Menentukan Lokasi Industri

Pemilihan lokasi industri mempunyai arti sangat penting. Hal ini karena lokasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan dan kontinuitas proses dan kegiatan industri. Tujuan dari penentuan lokasi industri adalah untuk memperbesar keuntungan dengan menekan biaya produksi dan meraih pasar yang luas.
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendirian Industri
Faktor-faktor untuk menentukan lokasi industri suatu industri dapat dibedakan menjadi dua macam:
1) Faktor pokok meliputi lokasi bahan baku, sumber tenaga kerja, biaya angkutan, daerah pemasaran dan sumber energi.
2) Faktor tambahan, meliputi iklim, kebijaksanaan pemerintah di bidang industri dan ketersediaan air.
b. Teori Lokasi Industri
Teori lokasi muncul untuk menentukan lokasi yang terbaik secara ekonomis bagi suatu industri.
1) Teori lokasi industri dari Weber
Teori lokasi industri dari Webber dikenal dengan sebutan least cost location. Isi pokok teori Webber adalah lokasi industri dipilihkan di tempat-tempat yang biayanya paling minimal.
2) Teori lokasi industri optimal dari Losch
Teori lokasi optimal dari Losch berdasarkan permintaan. Menurut Losch, lokasi optimal suatu industri adalah lokasi yang dapat menguasai wilayah pemasaran terluas.
3) Analisis wilayah pasar model Hotteling
Tujuan pasar model Hotteling adalah menganalisis strategi lokasi dua industri yang bersaing di pasar. Menurut Hotteling elastisitas permintaan akan mendorong difusi industri.
4) Pendekatan Perilaku menurut Pred
Pred menyusun matrik perilaku yang dapat digunakan untuk menganalisis pengambilan keputusan tentang berbagai lokasi. Pada prinsipnya, lokasi industri menurut Pred ditentukan berdasarkan perilaku pengambilan keputusan.
Menentukan lokasi industri atas dasar bahan baku, pasar, biaya angkut, tenaga kerja, modal, tekhnologi, peraturan dan lingkungan dapat dilakukan dengan klasifikasi sebagai berikut:
a. Lokasi industri dekat dengan bahan baku jika:
1) Bahan baku yang digunakan mudah rusak,
2) Pengangkutan barang jadi lebih mudah jika dibandingkan dengan pengangkutan bahan baku,
3) Bahan baku yang digunakan lebih berat daripada produk yang dihasilkan.
b. Lokasi industri berdasar pasar, jika:
1) Produksi yang dihasilkan lebih berat dibandingkan dengan bahan baku,
2) Bahan baku yang digunakan tidak mudah rusak,
3) Wilayah pasar luas,
4) Produksi yang dihasilkan lebih mudah rusak setelah pengolahan,
5) Faktor prestise (gengsi lebih dipentingkan, misalnya industri periklanan/advertising).
c. Lokasi industri berdasarkan biaya angkut, berarti sedapat mungkindidirikan di daerah yang lancar transportasinya baik jumlah hasil produksinya maupun bahan-bahan baku yang diperlukan.
d. Lokasi industri berorientasi pada tenaga kerja
Tenaga kerja dalam industri erkaitan dengan dua hal, yaitu:
(1) Kuantitas atau jumlah tenaga kerja yang ditampung oleh industri
(2) Kualitas atau mutu tenaga kerja yang dimiliki industri
e. Lokasi industri berdasarkan modal da tekhnologi
Lokasi industri perlu diperhitungkan, besarnya modal yang dibutuhkan dalam proses produksi, dan perlu memiliki tekhnologi yang menjadikan industri lebih efisien. Dalam tekhnologi yang dipertimbangkan sumber tenaga yang paling tepat digunakan, seperti tenaga hewan, tenaga air, tenaga listrik, tenaga gas, batubara, atau minyak bumi.
f. Lokasi industri berdasarkan peraturan dan lingkungan
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah no.29 tahun 1986 tentang pelaksanaan analisis dampak lingkungan (AMDAL), atau analisis mengenai dampak lingkungan.

Pertimbangan utama dalam menentukan alternatif lokasi industri yaitu ditekankan pada biaya transportasi yang rendah. Pada prinsipnya beberapa teori lokasi tersebut untuk memberikan masukan bagi penentuan lokasi optimum, yaitu lokasi yang terbaik dan menguntungkan secara ekonomi. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai beberapa teori lokasi :
a. Theory of industrial location (teori lokasi industri) dari Alfred Weber
Teori ini dimaksudkan untuk menentukan suatu lokasi industri dengan mempertimbangkan risiko biaya atau ongkos yang paling minimum, dengan asumsi sebagai berikut:
1) Wilayah yang akan dijadikan lokasi industri memiliki: topografi, iklim dan penduduknya relatif homogen.
2) Sumber daya atau bahan mentah yang dibutuhkan cukup memadai.
3) Upah tenaga kerja didasarkan pada ketentuan tertentu, seperti Upah Minimum Regional (UMR).
4) Hanya ada satu jenis alat transportasi.
5) Biaya angkut ditentukan berdasarkan beban dan jarak angkut.
6) Terdapat persaingan antarkegiatan industri.
7) Manusia yang ada di daerah tersebut masih berpikir rasional.
Persyaratan tersebut jika dipenuhi maka teori lokasi industri dari Alfred Weber dapat digunakan. Weber menggunakan tiga faktor (variabel penentu) dalam analisis teorinya, yaitu titik material, titik konsumsi, dan titik tenaga kerja. Ketiga titik (faktor) ini diukur dengan ekuivalensi ongkos transport. Berdasarkan asumsi tersebut di atas, penggunaan teori Weber tampak seperti pada gambar berikut ini :
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4MEzmUxdlu273i6gTMhkT7kujzpFwiwrdMj7K6LgCXUVmtCUFy0dqIGIHYCy1GBwd_PxT12JiF_Z5kF_era6SDp1R4zoBsctAXEACzLFXBs4sCNamw3PljIGFf1XKbiYGVMGzyd80sFQ/s400/Segitiga+Weber.jpg
(a) (b) (c)
Segitiga Weber dalam menentukan lokasi industri(Sumber: Ilmu Pengetahuan Populer, 2000)
Keterangan:
M = pasar
P = lokasi biaya terendah.
R1, R2 = bahan baku
Gambar
(a) : apabila biaya angkut hanya didasarkan pada jarak.
(b) : apabila biaya angkut bahan baku lebih mahal dari pada hasil industri.
(c) : apabila biaya angkut bahan baku lebih murah dari pada hasil industri.

b. Teori lokasi industri optimal (Theory of optimal industrial location) dari Losch
Teori ini didasarkan pada permintaan (demand), sehingga dalam teori ini diasumsikan bahwa lokasi optimal dari suatu pabrik atau industri yaitu apabila dapat menguasai wilayah pemasaran yang luas, sehingga dapat dihasilkan pendapatan paling besar. Untuk membangun teori ini, Losch juga berasumsi bahwa pada suatu tempat yang topografinya datar atau homogen, jika disuplai oleh pusat (industri) volume penjualan akan membentuk kerucut. Semakin jauh dari pusat industri semakin berkurang volume penjualan barang karena harganya semakin tinggi, akibat dari naiknya ongkos transportasi. Berdasarkan teori ini, setiap tahun pabrik akan mencari lokasi yang dapat menguasai wilayah pasar seluas-luasnya. Di samping itu, teori ini tidak menghendaki wilayah pasarannya akan terjadi tumpang tindih dengan wilayah pemasaran milik pabrik lain yang menghasilkan barang yang sama, sebab dapat mengurangi pendapatannya. Karena itu, pendirian pabrik-pabrik dilakukan secara merata dan saling bersambungan sehingga berbentuk heksagonal.

c. Teori susut dan ongkos transport (theory of weight loss and transport cost)
Teori ini didasarkan pada hubungan antara faktor susut dalam proses pengangkutan dan ongkos transport yang harus dikeluarkan, yaitu dengan cara mengkaji kemungkinan penempatan industri di tempat yang paling menguntungkan secara ekonomi. Suatu lokasi dinyatakan menguntungkan apabila memiliki nilai susut dalam proses pengangkutan yang paling rendah dan biaya transport yang paling murah. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa:
1) Makin besar angka rasio susut akibat pengolahan maka makin besar kemungkinan untuk penempatan industri di daerah sumber bahan mentah (bahan baku), dengan catatan faktor yang lainnya sama.
2) Makin besar perbedaan ongkos transport antara bahan mentah dan barang jadi maka makin besar kemungkinan untuk menempatkan industri di daerah pemasaran.

d. Model gravitasi dan interaksi (model of gravitation and interaction) dari Issac Newton dan Ullman
Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa tiap massa mempunyai gaya tarik (gravitasi) untuk berinteraksi di tiap titik yang ada di region yang saling melengkapi (regional complementarity), kemudian memiliki kesempatan berintervensi (intervening opportunity), dan kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability). Teori interaksi ialah teori mengenai kekuatan hubungan-hubungan ekonomi (economic connection) antara dua tempat yang dikaitkan dengan jumlah penduduk dan jarak antara tempat-tempat tersebut. Makin besar jumlah penduduk pada kedua tempat maka akan makin besar interaksi ekonominya. Sebaliknya, makin jauh jarak kedua tempat maka interaksi yang terjadi semakin kecil. Untuk menggunakan teori ini perhatikan rumus berikut.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjASEqrL8agS7QxGKYdiCMDTRAEZp7kJW78g1tEC8Mr3ImfOWL5x_1ea7pylZZn5Q6bYjDuUPLJ3sGzTK5nkGy_mAPnOetRjl6L0TtxlUhTNSP9bs8xpozux7B57x6DURg57OvnHwZMeok/s400/Rumus.jpg
Keterangan:
I = gaya tarik menarik diantara kedua region.
d = jarak di antara kedua region.
P = jumlah penduduk masing-masing region.

e. Teori tempat yang sentral (theory of cental place) dari Walter Christaller
Teori ini didasarkan pada konsep range (jangkauan) dan threshold (ambang). Range (jangkauan) adalah jarak tempuh yang diperlukan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan masyarakat, sedangkan threshold (ambang) adalah jumlah minimal anggota masyarakat yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan suplai barang. Menurut teori ini, tempat yang sentral secara hierarki dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1) Tempat sentral yang berhierarki 3 (K = 3), merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya, atau disebut juga kasus pasar optimal.
2) Tempat sentral yang berhierarki 4 (K = 4), merupakan situasi lalu lintas yang optimum. Artinya, daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien.
3) Tempat sentral yang berhierarki 7 (K = 7), merupakan situasi administratif yang optimum. Artinya, tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya.
Untuk menerapkan teori ini, diperlukan beberapa syarat di antaranya sebagai berikut:
1) Topografi atau keadaan bentuk permukaan bumi dari suatu wilayah relatif seragam sehingga tidak ada bagian yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lain dalam hubungannya dengan jalur angkutan.
2) Kehidupan atau tingkat ekonomi penduduk relatif homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer yang menghasilkan padi-padian, kayu, dan batubara.

Pancasila Ideologi Terbuka




1. Ideologi Pancasila Kuktur Politik Bangsa Indonesia:
Secara historis dapat dijelaskan, bahwa istilah “ideologi” adalah berasal dari sejarah Perancis ketika mengalami pencerahan, sebagai sebuah ilmu penge tahuan tentang hasil pemikiran atau idea manusia, artinya ideologi merupakan sebuah konsep ilmiah, yang mempergunakan racikan atau pola empirik maupun logika berfikir rasional. Ideologi dengan demikian sebagai bagian dari ilmu politik, yang mencoba mempersatukan usaha manusia yang bersifat politik bagi terbentuk dan terselenggaranya pemerintahan yang dianggap baik dan benar.
Pada awal sejarahnya itu, ideologi dianggap sebagai alat politik yang membawakan pemikiran revolusioner untuk menghancurkan pemerintahan model lama dengan strukturnya yang dianggap tidak lagi sesuai dengan suasana baru yang demokratis. Tetapi istilah ideologi atau ideologues pernah mengalami konotasi negatif sebagai doktrin bukan bersifat ilmiah seperti awalnya yang bersifat destruktif, oleh pengaruh Revolusi Perancis. Hal ini sebagai pengakuan ahli politik Perancis : Antoine Revarol (1753-1801) yang mengatakan, bahwa ideologi telah berubah menjadi doktrin yang destruktif dan ini telah menjadi kenyataan sejarah bahkan sebagai doktrin yang berbahaya bagi tertib politik yang baik; ideologi menjadi idea yang berbahaya, karena ingin merobek-robek tiang-tiang dunia yang ada. Di Perancis pada zaman revolusi itu para pemuda dengan berteriak keras berusaha merobohkan semua rintangan yang ada, sekalipun dengan kekerasan, membawa panji-panji ideologi. Memang Revarol hidup di zaman berkecamuknya revolusi dahsyat.
Setelah itu, terbawa oleh revolusi modern di Inggris, ideologi memperoleh kembali arti aslinya yang rasional, yakni ketika kaum Liberal maupun Konservatif, ketika hendak menyerang sebuah doktrin yang mereka tidak sukai, mereka mengenakan senjata ideologi secara rasional, tidak seperti di Perancis. Dalam mengritik kaum sosialis misalnya, kaum Liberal menggunakan ideologi untuk memperbaiki masyarakat. Sebaliknya kaum Sosialis atau Marxis juga menempuh jalan yang sama, yakni menggunakan ideologi sebagai senjata untuk menghadapi lawan politik. Walaupun demikian sering kali sifat destruktif ideologi, sebagai yang disinyalir Antoine Revarol (bukunya, De la Philosophie Moderne”, Paris 1802) bisa muncul kembali kepermukaan, ketika situasi pertentangan memanas.
Seorang ahli politik dan sosiologi terkenal Robert Mac Iver, dalam bukunya “European Ideologies”, New York, Philosophical Library, 1948, memberikan definisi tentang ideologi sebagai berikut : “ a political and social ideology is a system of political, economic and social values and idea from which objectives are derived. These objectives from the nucleus of a political program” (bahwa ideologi politik dan sosial adalah sebuah sistem nilai dan pemikiran politik, ekonomi dan sosial, yang memunculkan sasaran-sasaran. Sedang sasaran-sasaran ini membentuk intisari sebuah program politik). Dengan pengertian itu, maka ideologi akan memunculkan serangkaian gagasan, berupa sasaran-sasaran yang dinamis yang bisa mempengaruhi bahkan membimbing masa depan harapan bisa menentukan nasib masa depan manusia banyak. Definisi Mac Iver itu mengisyaratkan secara jelas bahwa ideologi hendaknya memiliki sifat mengatur atau “normatif”, berupa kaidah dasar, disamping juga memiliki fungsi memberikan “ilham atau inspirasi” bagi pemilik ideologi serta sifat ideologi haruslah rasional dengan tata logika yang benar, tepat dan singkat.
Apabila kita hubungkan dengan Pancasila sebagai ideologi, maka terlihat relevansi yang begitu nyata, bahwa sebagai ideologi, maka Pancasila adalah sebuah alat politik bangsa Indonesia, untuk mencapai cita-citanya dalam penyelenggaraan “Negara Bangsa”, bukan sebagai doktrin yang destruktif sebagai keluhan Revarol, tetapi sebagai sebuah kaidah yang konstruktif, untuk menciptakan masa depan bangsa yang adil dan bahagia. Bila mengikuti definisi Mac Iver, maka jelas kiranya bahwa Pancasila memiliki dasar kebenaran, artinya berkarakteristik “normatif” sebagai dasar negara, memberikan “inspirasi atau ilham” terus-menerus sebagai pedoman bagi sebuah Weltanschaung manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedang prinsip pemikiran atau “ideas” yang dikandungnya jelas menggunakan “tertib logika yang rasional”, berarti open to any soiontific debate.
Seterusnya Pancasila sebagai ideologi mampu memberikan skema yang lengkap bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi maupun tertib keamanan, berarti sebuah gagasan yang bisa mengilhami usaha mencapai tujuan atau sasaran luhur manusia berbangsa dan bernegara secara lengkap. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya apabila ideologi Pancasila adalah merupakan “kultur politik bangsa Indonesia”.
Untuk lebih jauh membahas mengenai konotasi ideologi politik, baiklah kita simak pendapat Profesor Samuel H. Beer, dalam bukunya yang berjudul “Patterns of Government”, New York 1958, dia membuat deskripsi tentang watak politik. Watak politik terlihat ketika sebuah masyarakat atau pemerintahan mengadakan aktivitas, mereka sebenarnya mempertontonkan sebuah “watak politik”, dan watak ini karena berlaku terus-menerus dalam jangka panjang, maka terbentuklah apa yang dinamakan “kultur politik”, yang menurut Beer, kultur ini memiliki tiga komponen penting, yakni (1) nilai, (2) kepercayaan dan (3) sikap.
Khusus mengenai (1) nilai, Beer membedakan antara (a) nilai prosedural dan (b) nilai tujuan. Ketika pemerintahan terbentuk atas dasar ideologi politik yang ada, maka otoritas pemerintahan dijalankan sesuai prosedur yang disepakati, dengan berpedoman kepada ideologi politik yang dimiliki, misalnya menjalankan prinsip-prinsip yang demokratis, membentuk lembaga-lembaga negara, menyelenggarakan Pemilu, dan sebagainya. Ini adalah “nilai prosedural”. Sedang “nilai tujuan” ialah berupa hasil pekerjaan yang dijalankan pemerintahan negara, misalnya terwujudnya masyarakat yang berkeadilan sosial serta berkemakmuran. Selanjutnya mengenai (2) kepercayaan, Beer menunjuk keinginan rakyat tentang jalannya ideologi politik atau ideologi politik dalam praktek kenegaraan. Beer membedakan antara “nilai” dengan “kepercayaan”, bahwa nilai politik adalah berbicara tentang apa “yang seharusnya” dijalankan atau diwujudkan, sedang kepercayaan politik adalah berbicara tentang apa adanya, bukannya What ought to be, tetapi What is saja.
Oleh sebab itu sebuah “kepercayaan politik” adalah sebuah gambaran tentang politik yang hidup dalam masyarakat, berupa adat-kebiasaan, agama, budaya, tingkah-laku dan seterusnya. Disini kiranya dapat menjelaskan sejarah, ketika Bung Karno mencoba menggali Pancasila dari bumi Indonesia, maka dia ketemukan dari lubuk hatinya rakyat Indonesia, yakni telah adanya (What is) prinsip-prinsip Pancasila, sehingga di sinilah letaknya Pancasila sebagai “kepercayaan atau keyakinan Politik” bangsa Indonesia. Ini apa adanya, dan sekaligus sebagai nilai yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan analisa Beer tersebut, maka ideologi Pancasila adalah sekaligus Nilai/Value dan Kepercayaan/Belief. Bisa dibandingkan dengan pendapat Bung Karno, bahwa Pancasila adalah landasan statis sekaligus Leidster dinamis.
Komponen (3) Sikap, menurut Beer sikap ini biasanya sentimentil atau emosional. Ini adalah bawah sadar masyarakat politik. Ujudnya seperti gunung es hanya tampak sedikit, sedang bagian terbesar tersimpan di bawah wadar. Dalam sikap politik banyak mengemukakan hal-hal yang bersifat peranan, misalnya sentimen nasionalisme, yang oleh dorongan ideologi politik bisa membara apabila tersinggung oleh sebuah kondisi yang menantang, jadi sifatnya sangat emosional. Namun sebenarnya disini sebagai ukuran apakah sebuah ideologi politik telah benar berakar dalam kehidupan masyarakat atau belum. Sikap sentimental yang besar terhadap nasionalisme yang sedang tersinggung adalah cermin langsung telah menebalnya kultur politik yang dibina oleh ideologi politik yang ada pada mereka. Sebaliknya tidak adanya reaksi sikap nasional yang emosional terhadap keterpurukan ideologi tersebut yang timbul dari masyarakat.
Apabila teori Profesor Beer benar, maka seharusnya Pancasila sebagai ideologi dan yang diharapkan menjadi kultur politik nasional itu berparameter “nilai prosedural maupun tujuan, kepercayaan politik dan sekaligus memiliki sikap sentimental yang tinggi”, sehingga tidak akan tergoyahkan oleh badai besar maupun yang bisa menimpa bangsa Indonesia, dari manapun datangnya serta kapanpun.

2. Pancasila Ideologi Terbuka
Nilai luhur yang terkandung dalam ideologi Pancasila tentunya perlu implementasi, yang menjalankan adalah seluruh rakyat warganegara, tanpa aktualisasi maka nilai tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Disinilah perlunya partisipasi, sedang partisipasi adalah dukungan nyata. Hal ini memerlukan keterbukaan antar warganegara sendiri, antara yang kebetulan menjadi penyelenggara negara maupun rakyat jelata, bahkan keterbukaan sistem politik nasional termasuk ideologi Pancasila sendiri. maka suatu keharusan adanya ideologi Pancasila yang terbuka. Masyarakat pluralistik memerlukan keterbukaan sistem, sehingga semua aspirasi mereka dapat tertampung.
Sejarah perjalanan politik sendiri menunjukkan, bahwa sejak berkembangnya pemikiran demokrasi, orang telah mengembangkan keterbukaan di semua aspek kehidupan, lebih-lebih dalam bidang politik. Karakteristik keyakinan politik serta kultur politik modern menuntut adanya “perubahan yang terus menerus” bagi perbaikan hidup manusia. Idealisme kuno yang statis sudah lama ditinggalkan. Modernisme selalu berisi pemikiran-pemikiran untuk terus maju, kemudian disemua aspek hidup itu terus berkembang dalam tamansarinya perdamaian, kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan ketentraman, dan menentang serta mengeliminasi semua bentuk kemiskinan, penindasan, kekerasan, kejahatan, penyakit dan ketidak tertiban.
Ketika Marquis de Condorcet diguillotine dalam revolusi Perancis, dia lantang mengumandangkan perbaikan masyarakat untuk terus maju menuju “kesempurnaan” hidup. Condorcet meninggal, namun idea kemajuan telah dicatat sejarah. Condorcet yakin, bahwa manusia mampu untuk mencapai perbaikan hidup menuju kesempurnaan yang tidak terbatas, dengan kemampuan reason yang dimiliki manusia. Di kalangan umat Nasrani, dalam memasuki zaman modern dan industri, dikembangkan apa yang dinamakan “Work Ethics” atau etika kerja keras untuk mencapai kesejahteraan yang maksimal di bumi yang telah diberikan Tuhan bagi manusia. Juga umat Islam dianjurkan oleh agamanya untuk : Merubah suatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya (Allah) kepada sesuatu bangsa, sehingga bangsa itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri” (Surat Al-Anfal 53).
Sila-sila dalam Pancasila bisa tetap sebagai landasan statis, namun dalam menuju nilai tujuan, ideologi Pancasila akan tetap terbuka untuk mencapai sasaran-sasaran yang dinamis. Tuhan sebagai Maha Pencipta alam semesta saja membebaskan manusia untuk merubah dan memperbaiki sikapnya di dunia untuk merubah ni’mat Tuhan kepada posisi yang lebih baik. Maka Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah terbuka bagi pemahaman yang konstruktif untuk mencapai nilai tujuan yang diciptakan bersama.
Sebagai landasan statis, sebagai istilah Bung Karno, maka sila-sila dalam Pancasila pun dapat dibahas terbuka secara ilmiah, seperti yang pernah dikemukakan Prof. Notonegoro dari Universitas Gajah Mada dan pakar-pakar lainnya secara akademik. Namun sila-sila tersebut nyatanya telah teruji secara sejarah akan authentisitasnya bersumber dari rakyat, yang dalam istilah Prof. Beer sebagai “Political Belief”, maka ideologi politik adalah realitas apa adanya (what is), ini berarti tetap terbuka juga untuk penyelidikan ilmiah kapan saja. Pendapat Beer ini kelihatan juga tidak jauh dari pandangan pendekar demokrasi liberal John Locke, ketika mengemukakan prinsip-prinsip ideologis demokrasi liberalnya, bahwa prinsip itu telah menjadi hukum alam yang tetap, namun kapanpun orang bisa berdebat tentang itu. Oleh karena itu, Pancasila sebagai ideologi, baik dilihat dari sandaran “Landasan Statis” maupun sasaran “Leidster dinamis”, akan tetap terbuka bagi pembahasan yang mendalam atau deliberatif. Dalam keterbukaan itu orang tidak perlu menakutkan timbulnya kondisi akan melemahkan posisi maupun eksistensi ideologi bangsa, akan tetapi justru sebaliknya akan menemukan penguatan kondisi maupun eksistensinya, sebab sekali lagi sebagai sebuah kultur yang telah memiliki label political belief, eksistensinya tidak perlu diragukan lagi.
Mungkin perlu sekali lagi kita mendengar pendapat filosuf politik humanitarian Marquis de Condorcet (1743-1794) yang banyak berpengaruh ketika ideologi politik sedang banyak diluncurkan di Europa, bahwa manusia akan tetap selalu menuju kearah “Perfektibilitas”, oleh sebab itu sebuah ideologi politik harus terbuka untuk menuju ke sana. Perfektibilitas harus dicapai melalui perjuangan politik, sedang perjuangan untuk pencapaian usaha perbaikan intellektual, perbaikan moral dan kemampuan fisik, dengan intensifikasi pendidikan di semua lapisan penduduk.
Bagi masa depan bangsa dan negara, maka tidak ada ruang lain bagi ideologi Pancasila kecuali tetap membuka diri sebagai ideologi terbuka.