Selasa, 08 Januari 2013


TUGAS
GEOGRAFI
TEORI STRUKTUR KOTA






KELOMPOK 3:
1.   ADE KURNIADI
2.   FATMA MUTHIA ILDA
3.   JUDHIL SURAHMAN
4.   ZULRAHMI




SMA PGRI 1 PADANG
                                                      2012/2013






1. Generalisasi Wilayah
Generalisasi wilayah merupakan proses pembagian permukaan Bumi tertentu menjadi beberapa bagian. Generalisasi dilakukan dengan menyamakan beberapa unsur sehingga menyebabkan hilangnya beberapa faktor yang dianggap kurang penting atau kurang sesuai dengan tujuan generalisasi. Hal ini ditujukan untuk menampakkan karakter-karakter tertentu yang ingin ditonjolkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam generalisasi wilayah adalah skala peta yang digunakan dan tujuannya. Jika skala yang digunakan makin besar maka makin kecil generalisasi wilayah yang dilakukan. Apabila skala yang digunakan kecil, maka semakin besar generalisasinya. Selain skala, generalisasi wilayah juga dipengaruhi oleh tujuan perwilayahan. Untuk tujuan yang memerlukan data yang tidak terlalu detail, maka generalisasi yang dilakukan lebih kecil. Sedangkan untuk data-data yang lebih spesifik maka generalisasinya lebih besar. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kenampakan yang ada di wilayah tersebut.
2. Klasifikasi Wilayah
Klasifikasi wilayah merupakan suatu upaya mengelompokkan suatu wilayah secara sistematis menjadi beberapa bagian tertentu. Berikut ini beberapa penggolongan atau klasifikasi wilayah tersebut.
DELEMINASI WILAYAH
1.     Delemitasi dalam Generalisasi regional
Masalah-masalah yang selalu dihadapi oleh para cendikiawan dibidang perencanaan pengembangan wilayah (regional develo9pment planning) dalam hubungannya dengan pewilayahan adalah ‘delimitasi regional’. Seorang perencana haruslah mempunyai keahlian di bidang ini, sehingga regionalisasi yang dilakukan betul-betul mewakili sejumlah property yang ada dalam sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu.

Delimitasi adalah cara-cara penentuan batas terl;uar sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu. Dalam generalisasi regional, delimitasi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :

1) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kualitatif
2) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kuantitatif.

2.     Delemitasi dalam Generalisasi regional
Masalah-masalah yang selalu dihadapi oleh para cendikiawan dibidang perencanaan pengembangan wilayah (regional develo9pment planning) dalam hubungannya dengan pewilayahan adalah ‘delimitasi regional’. Seorang perencana haruslah mempunyai keahlian di bidang ini, sehingga regionalisasi yang dilakukan betul-betul mewakili sejumlah property yang ada dalam sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu.
Delimitasi adalah cara-cara penentuan batas terl;uar sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu. Dalam generalisasi regional, delimitasi dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kualitatif
2) generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kuantitatif.

3.     Delimitasi Kualitatif dalam Generalisasi Wilayah
Sifat-sifat yang ada dalam suatu wilayah ditinjau secara menyeluruh akan menimbulkan image tentang kenampakan-kenampakan yang menyolok dari wilayah tersebut. Dengan kata lain, kenampakan-kenampakan yang dominant pada sesuatu tempat akan memberi kesan yang lebih menyolok tentang wilayah yang bersangkutan. Suatu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa di permukaan bumi ini tidak ada satu daerah pun yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang sepenuhnya identik.

Masing-masing daerah tersebut secara konseptual akan dibatasi oleh suatu garis pemisah/garis batas. Masalah garis batas ini selalu menjadi bahan diskusi yang menarik di kalangan para cendikiawan. Hal ini disebabkan pada hakekatnya garis pemisah tersebut bukan merupakan batas yang tegas antara wilayah yang satu dengan yang lainnya, tetapi lebih merupakan suatu wilayah peralihan (zone of transition) antara dua kenampakan yang berbeda. Jalur wilayah yang mempunyai deferensiasi kenampakan paling kabur adalah ‘zone of transition’ tersebut, sedangkan bagian wilayah yang mempunyai deferensiasi kenampakan paling tegas adalah core region (Alexander, 1963).

Dalam konsepsi wilayah inti ini ditekankan bahwa arti penting suatu wilayah bukan terletak pada batas-batasnya, melainkan terletak pada bagian intinya. Hal ini dikarenakan wilayah inti dianggap sebagai bagian yang betul-betul mewakili (representative) terhadap sesuatu wilayah. Ide-ide ini sangat menentukan baik-tidaknya suatu penelitian, karena angat berhubungan dengan teknik-teknik penentuan pemilihan ‘area sampel’ dalam penelitian tertentu.

Delimitasi kualitatif dalam generalisasi regional banyak dikerjakan dalam interpretasi foto udara maupun dalam ERTS imagery. Delimitasi kenampakan yang dijalankan berdasarkan pada rona (tone), tekstur, dan pola yang ada dalam foto udara yang bersangkutan ataupun dalam ERTS imagery. Dalam hal ini delimitasi kualitatif lebih menguntungkan dan dapat lebih terpercaya disbanding delimitasi yang mendasarkan pada peta-peta garis (line maps). Untuk daerah-daerah yang sempit dapat digunakan foto udara dan untuk daerah0daerah yang luas dapat digunakan ERTS imagery. Contoh tentang ide delimitasi kualitatif dal;am regionalisasi wilayah adalah pembagian Indonesia ke dalam beberapa wilayah pembangunan (Hariry Hady, 1974). Dalam hal ini Indonesia dibagi-bagi kedalam sepuluh wilayah pengembangan, yaitu :

1) Wilayah Pengembangan Utama A, dengan pusat utamanya Medan yang terdiri dari :
- Wilayah pembangunan I, meliputi pro[insi Aceh dan Sumatera Utara.
- Wilayah pembangunan II, meliputi propinsi Sumatera Barat dan Riau.
2) Wilayah Pembangunan Utama B, dengan pusat utamanya Jakarta Raya, yang terdiri dari :
- Wilayah pembangunan III, meliputi propinsi Jambi, propinsi Sumatera Selatan, dan propinsi Bemngkulu;
- Wilayah pembangunan IV, meliputi propinsi Lampung, Jakarta Raya, Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
- Wilayah pembangunan VI, meliputi propinsi Kalimantan Barat.
3) Wilayah Pembangunan Utama C, denganm pusat utamanya Surabaya, yang terdiri dari :
- Wilayah pembangunan V, meliputi propinsi Jawa Timur dan pulau Bali.
- Wilayah pembangunan VII, meliputi propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan propinsi Kalimantan Timur.
4) Wilayah Pembangunan Utama D, dengan pusat utamanya Ujung Pandang, yang terdiri dari :
- Wilayah pembangunan VIII, meliputi propinsi Nusa Tenggara Barat minus pulau Bali, Nusa Tenggara Timur, propinsi Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah,
- Wilayah pembangunan IX, meliputi propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara,
- Wilayah pembangunan X, meliputi propinsi Maluku dan propinsi Irian Jaya.

Gagasan pembagian wilayah pembangunan tersebut terutama bertujuan untuk memperkuat kesatuan ekonomi nesional yang utuh. Inter-relationship dan inter-dependency antara daerah pengembangan menjadi pertimbangan utama di samping adanya potensi daerah yang menonjol.

Penggunaan delimitasi wilayah kualitatif dalam generalisasi mengandung sejumlah kelemahan. Hal ini disebabkan oleh cara memisah-misahkan wilayah yang satu dengan yang lain semata-mata mendasarkan pada pengamatan yanmg bersifat kualitatif. Karena itu, delimitasi kualitatif sebetulnya hanya cocok diterapkan ‘pre-planning period’, dimana gambaran umum tentang sesuatu wilayah diperlukan untuk dijadikan pedoman dalam melaksanakan langkah-langkah selanjutnya yang lebih konkrit dan tegas.

Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini tentang salah satu kelemahan penggunaan delimitasi kualitatif dalam generalisasi regional tersebut. Masalah yang pertama berkaitan dengan pemasukan beberapa wilayah ke dalam unit pembangunan yang sama. Dalam unit wil;ayah pembangunan IV misalnya, dimasukkannya daerah Lampung dan sekitarnya kedalam unit wilayah pembangunan yang juga meliputi Jawa Barat dan Jawa Tengah, jelas terlalu mendasarkan pada kriteria yang sifatnya kualitatif. Kriteria-kriteria kualitatif ini jelas akan mengundang berbagai masalah yang sangat menyulitkan dan perlu dipecahkan, terutama berkaitan dengan derajat ketelitian dan derajat konsistensinya.

Masalah yang kedua berkaitan dengan penentuan batas masing-masing wilayah pembangunan. Sebagai contoh dapat dikemukakan, batas antara wilayah pembangunan II dan wilayah pembangunan III, terlalu sulit dimengerti. Hal ini akan merupakan sumber persoalan yang serius pada bagian-bagian batas di daratan, karena gap antara garis yang satu dengan garis yang lain tidak sekedar jalur sempit (transition zone) saja, tetapi meliputi daerah yang cukup luas untuk dapat disebut sebagai batas. Lain halnya dengan gap yang terletak di daerah perairan, tentunya tidak akan menimbulkan masalah sedemikian besar seperti di daerah daratan, karena secara fisik tidak akasn menimbulkan akibat yang berarti.
Akhirnya perlu ditegaskan; untuk tujuan pewilayahan yang mendalam, teknik delimitasi kualitatif dalam generalisasi wilayah seyogyanmya tidak digunakan.
4.      Delimitasi Kuantitatif dalam Generalisasi Wilayah
Delimitasi yang dikerjakan pada golongan yang kedua ini tidak semata-mata menggunakan parameter-parameter yang sifatnya kualitatif, melainkan lebih ditekankan pada parameter-parameter yang sifatnya kuantitatif. Data yang digunakan sebagai dasar untuk generalisasi diambilkan dari berbagai bidang. Dari data yang terkumpul kemudian dituangkan kedalam peta, dan akhirnya akan memberikan gambaran penyebaran data tersebut dalam hubungannya dengan ruang.
Salah satu contoh yang sederhana dalam hal ini adalah pewilayahan klimatologis yang dikerjakan oleh U. S. Weather Beureau. Dalam delimitasinya, badan ini mendasarkan regionalisasi pada lokasi station-station meteorologi yang tersebar di seluruh daerah. Dengan menghubungkan beberapa titik (dalam hal ini diwakili oleh station-station meteorologi tersebut), kemudian dibuat garis-garis berat dari masing-masing garis penghubung antara dua station. Maka akan diperoleh wilayah-wilayah klimatologi dengan batas-batas garis berat, dengan station meteorologi sebagai pusatnya, dan wilayah tersebut berupa bentuk yang terkenal dengan sebutan polygon. Cara ini mendasarkan pada teknik pembuatan polygon seperti dikemukakan oleh Thiesen dan dikenal dengan sebutan Thiesen Polygon (Haggett, 1970).
Prinsip regionalisasi di atas dapat dilihat dalam gambar 10.

Teknik-teknik yang telah dijelaskan di muka dapat dilakukan atas data yang bermacam-macam dengan temapt tertentu dianggap sebagai ‘core region’. Sedangkan contoh teknik lain yang mendasarkan criteria delimitasi seperti tersebut diatas, terkenal dengan Railly’s Law (Nelson, 1958).
Yang dikerjakan dalam Railly’s Law adalah mencari jarak jangkau pengaruh sesuatu pusat kegiatan. Railly’s Law juga terkenal dengan istilah Law or Retail G ravitation, karena pertama-tama teknik ini diterapkan untuk memeplajari ‘retailing’. Dalam treknik ini dilakukan delimitasi kuantitatif dari generalisasi wilayah tertentu atas dasar kekuatan tarik-menarik pengaruh dari dua pusat kegiatan.

Limit antara dua titik pengaruh kemnudian dihubung-hubungkan dan akan terdapat kesatuan-kesatuan wilayah yang dihasilkan secara kuantitatif. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dalam hal ini adalah bahwasanya dalam batas-batas tertentu derajat generalisasinya masih tampak besar. Dengan adanya kemajuan dibidang elektronika pada akhir abad ini, diikuti pula oleh kemajuan di bidang teknik-teknik menghitung secara elektronis, maka alat hitung elektronik (computer) mulai diterapkan pula dalam teknik-teknik pewilayahan. Keuntungan yang menyolok dari penggunaan alat ini adalah kerjanya yang cepat dan derajat konsistensinya yang tinggi. Dalam hal ini penyebaran data dicerminkan dalam data yang diolah dengan computertersebut. Delimitasi wilayah dapat dikerjakan dengan jalan mendelimitasi batas-batas antara penyebaran jenis-jenis data yang berlain-lainan.

Dari penyebaran data seperti ditunjukkan pada gambar 12, dapat terlihat deferensiasi data berdasarkan symbol-simbol yang dipakai dalam peta computer tersebut. Deliniasi dapat dikerjakan dengan mudah berdasarkan penyebaran symbol-simbol tersebut yang mewakili property tertentu.
Oleh karena elektronis setiap data dapat diolah dengan suatu program tertentu, maka regionalisasinya dapat disesuaikan dengan tujuan tertentu tersebut. Walaupun sifat generalisasinya masih tampak, tetapi unsur ketelitiandan reabilitas regionalisasinya lebih dapat dipertahankan. Dalam hal ini seorang perencana dapat dengan mudah mengadakan identifikasi wilayah dan sekaligus mengadakan demlimitasi wilayah atas property tertentu (Lawrence, 1971).
3.  Pusat-pusat Pertumbuhan Dan factor-faktor pusat pertumbuhan
Pusat pertumbuhan merupakan suatu yang berkembang pesat khususnya kegiatanekonominya sehingga menjadi pusat pembangunan daerah. Pusat pertumbuhan akanmendorong perkembangan wilayah sekitarnya, dan pusat pertumbuhan yang munculdisuatu wilayah dipengaruhi karakteristik wilayahnya.Perkembangan pusat pertumbuhan di suatu wilayah ditentukan oleh faktor-faktorberikut:
 a.Sumber daya alam
Daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam berpotensi menjadi pusatpertumbuhan, misalnya penambangan bahan tambang yang bernilai ekonomitinggi di suatu wilayah merangsang kegiatan ekonomi, memberikan kesempatankerja , dan meningkatkan pendapatan daerah serta berpengaruh terhadapmunculnya kegiatan ekonomi penunjang.
 b.Sumber daya manusia
Sumber daya manusia sangat berperan dalam pembentukan pusat pertumbuhan disuatu wilayah. Tenaga kerja yang terampil, ahli, handal dan profesionaldibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam.
 c. Kondisi Fisiografi/lokasi
Lokasi yang strategis memudahkan transportasi dan angkutan barang, sehinggapusat pertumbuhan berkembang cepat. Misalnya daerah dataran rendah yangberelief rata memungkinkan pusat pertumbuhan berkembang cepat dibandingdaerah pedalaman yang berilief kasar atau berpegunungan. 
 d. Fasilitas penunjang
Adanya fasilitas penunjang akan mendukung pusat pertumbuhan uantuk terusberkembang, contoh fasilitas penunjang diantaranya jalan, jaringan listrik, jaringantelepon, pelabuhan laut dan udara, fasilitas air bersih, penyediaan bahan bakar,serta prasarana kebersihan.
3. spreet effect
Menurut Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan beberapa keadaan yang akan menimbulkan hambatan yang lebih besar kepada daerah-daerah yang lebih terkebelakang untuk berkembang. Keadaan-keadaan yang menghambat pembangunan ini digolongkannya sebagai backwash effect. Di samping itu perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju dapat menimbulkan keadaan-keadaan yang akan mendorong perkembangan daerah-daerah yang lebih miskin. Keadaan ini dinamakan sebagai spread effect, atau disebut juga sebagai trickle down effect. Pemberdayaan masyarakat pedesaan dimaksudkan untuk mempengaruhi dan memanipulasi keragaan faktor-faktor tertentu, sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang dapat mencegah terjadinya backwash effect, dan sebaliknya mendukung terjadinya spread effect.


Menurut Sukirno (1985) di antara faktor-faktor yang akan menimbulkan backwash effect adalah,

(1) Corak perpindahan perpindahan penduduk dari daerah miskin ke daerah yang lebih maju. Pada umumnya penduduk yang berpindah adalah tenaga kerja yang lebih muda, mempunyai semangat dan etos kerja yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih baik daripada yang tetap tinggal di daerah miskin.

(2) Corak pengaliran modal. Pada umumnya permintaan modal di daerah miskin kurang, selain itu modal lebih terjamin dan menghasilkan di daerah yang lebih maju.

(3) Pola dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri dari daerah yang lebih maju. Ini menyebabkan daerah miskin mengalami kesukaran untuk mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya.

(4) Jaringan pengangkutan jauh lebih baik di daerah yang lebih maju, sehingga kegiatan produksi dan perdagangan mereka dapat diselenggarakan secara lebih efisien.


Sedangkan faktor yang mendorong terjadinya spread effect adalah berupa pertambahan permintaan dari daerah yang lebih kaya terhadap produksi dari daerah yang lebih miskin. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan terhadap hasil pertanian, hasil industri rumah tangga dan hasil industri barang konsumsi. Hasil-hasil tersebut merupakan komoditas utama bagi daerah yang lebih miskin.

Hanya saja sayangnya spread effect ini biasanya jauh lebih lemah daripada backwash effect. Oleh karenanya, apabila dibandingkan tingkat pembangunan di pedesaan (yang relatif miskin) dengan perkotaan (yang relatif maju), maka pembangunan yang tercapai di daerah pedesaan selalu lebih lambat daripada di perkotaan. Dalam jangka panjang, keadaan ini dapat memperburuk pola distribusi pendapatan, baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar