TUGAS
GEOGRAFI
TEORI STRUKTUR KOTA
KELOMPOK 3:
1.
ADE KURNIADI
2.
FATMA MUTHIA ILDA
3.
JUDHIL SURAHMAN
4.
ZULRAHMI
SMA PGRI 1 PADANG
2012/2013
1.
Generalisasi Wilayah
Generalisasi wilayah merupakan proses
pembagian permukaan Bumi tertentu menjadi beberapa bagian. Generalisasi
dilakukan dengan menyamakan beberapa unsur sehingga menyebabkan hilangnya
beberapa faktor yang dianggap kurang penting atau kurang sesuai dengan tujuan
generalisasi. Hal ini ditujukan untuk menampakkan karakter-karakter tertentu
yang ingin ditonjolkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
generalisasi wilayah adalah skala peta yang digunakan dan tujuannya. Jika skala
yang digunakan makin besar maka makin kecil generalisasi wilayah yang
dilakukan. Apabila skala yang digunakan kecil, maka semakin besar
generalisasinya. Selain skala, generalisasi wilayah juga dipengaruhi oleh
tujuan perwilayahan. Untuk tujuan yang memerlukan data yang tidak terlalu
detail, maka generalisasi yang dilakukan lebih kecil. Sedangkan untuk data-data
yang lebih spesifik maka generalisasinya lebih besar. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh berbagai kenampakan yang ada di wilayah tersebut.
2.
Klasifikasi Wilayah
Klasifikasi wilayah merupakan suatu upaya
mengelompokkan suatu wilayah secara sistematis menjadi beberapa bagian
tertentu. Berikut ini beberapa penggolongan atau klasifikasi wilayah tersebut.
DELEMINASI
WILAYAH
1.
Delemitasi
dalam Generalisasi regional
Masalah-masalah yang selalu dihadapi oleh
para cendikiawan dibidang perencanaan pengembangan wilayah (regional
develo9pment planning) dalam hubungannya dengan pewilayahan adalah ‘delimitasi
regional’. Seorang perencana haruslah mempunyai keahlian di bidang ini,
sehingga regionalisasi yang dilakukan betul-betul mewakili sejumlah property
yang ada dalam sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu.
Delimitasi
adalah cara-cara penentuan batas terl;uar sesuatu wilayah untuk tujuan
tertentu. Dalam generalisasi regional, delimitasi dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu :
1)
generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kualitatif
2)
generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kuantitatif.
2.
Delemitasi
dalam Generalisasi regional
Masalah-masalah
yang selalu dihadapi oleh para cendikiawan dibidang perencanaan pengembangan
wilayah (regional develo9pment planning) dalam hubungannya dengan pewilayahan
adalah ‘delimitasi regional’. Seorang perencana haruslah mempunyai keahlian di
bidang ini, sehingga regionalisasi yang dilakukan betul-betul mewakili sejumlah
property yang ada dalam sesuatu wilayah untuk tujuan tertentu.
Delimitasi
adalah cara-cara penentuan batas terl;uar sesuatu wilayah untuk tujuan
tertentu. Dalam generalisasi regional, delimitasi dapat dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu :
1)
generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kualitatif
2)
generalisasi wilayah yang menggunakan cara-cara kuantitatif.
3.
Delimitasi
Kualitatif dalam Generalisasi Wilayah
Sifat-sifat
yang ada dalam suatu wilayah ditinjau secara menyeluruh akan menimbulkan image
tentang kenampakan-kenampakan yang menyolok dari wilayah tersebut. Dengan kata
lain, kenampakan-kenampakan yang dominant pada sesuatu tempat akan memberi
kesan yang lebih menyolok tentang wilayah yang bersangkutan. Suatu hal yang
tidak dapat disangkal lagi bahwa di permukaan bumi ini tidak ada satu daerah
pun yang mempunyai karakteristik-karakteristik yang sepenuhnya identik.
Masing-masing
daerah tersebut secara konseptual akan dibatasi oleh suatu garis pemisah/garis
batas. Masalah garis batas ini selalu menjadi bahan diskusi yang menarik di
kalangan para cendikiawan. Hal ini disebabkan pada hakekatnya garis pemisah
tersebut bukan merupakan batas yang tegas antara wilayah yang satu dengan yang
lainnya, tetapi lebih merupakan suatu wilayah peralihan (zone of transition)
antara dua kenampakan yang berbeda. Jalur wilayah yang mempunyai deferensiasi
kenampakan paling kabur adalah ‘zone of transition’ tersebut, sedangkan bagian
wilayah yang mempunyai deferensiasi kenampakan paling tegas adalah core region
(Alexander, 1963).
Dalam
konsepsi wilayah inti ini ditekankan bahwa arti penting suatu wilayah bukan
terletak pada batas-batasnya, melainkan terletak pada bagian intinya. Hal ini
dikarenakan wilayah inti dianggap sebagai bagian yang betul-betul mewakili
(representative) terhadap sesuatu wilayah. Ide-ide ini sangat menentukan
baik-tidaknya suatu penelitian, karena angat berhubungan dengan teknik-teknik
penentuan pemilihan ‘area sampel’ dalam penelitian tertentu.
Delimitasi
kualitatif dalam generalisasi regional banyak dikerjakan dalam interpretasi
foto udara maupun dalam ERTS imagery. Delimitasi kenampakan yang dijalankan
berdasarkan pada rona (tone), tekstur, dan pola yang ada dalam foto udara yang
bersangkutan ataupun dalam ERTS imagery. Dalam hal ini delimitasi kualitatif
lebih menguntungkan dan dapat lebih terpercaya disbanding delimitasi yang
mendasarkan pada peta-peta garis (line maps). Untuk daerah-daerah yang sempit
dapat digunakan foto udara dan untuk daerah0daerah yang luas dapat digunakan
ERTS imagery. Contoh tentang ide delimitasi kualitatif dal;am regionalisasi
wilayah adalah pembagian Indonesia ke dalam beberapa wilayah pembangunan
(Hariry Hady, 1974). Dalam hal ini Indonesia dibagi-bagi kedalam sepuluh wilayah
pengembangan, yaitu :
1)
Wilayah Pengembangan Utama A, dengan pusat utamanya Medan yang terdiri dari :
-
Wilayah pembangunan I, meliputi pro[insi Aceh dan Sumatera Utara.
-
Wilayah pembangunan II, meliputi propinsi Sumatera Barat dan Riau.
2)
Wilayah Pembangunan Utama B, dengan pusat utamanya Jakarta Raya, yang terdiri
dari :
-
Wilayah pembangunan III, meliputi propinsi Jambi, propinsi Sumatera Selatan,
dan propinsi Bemngkulu;
-
Wilayah pembangunan IV, meliputi propinsi Lampung, Jakarta Raya, Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta;
-
Wilayah pembangunan VI, meliputi propinsi Kalimantan Barat.
3)
Wilayah Pembangunan Utama C, denganm pusat utamanya Surabaya, yang terdiri dari
:
-
Wilayah pembangunan V, meliputi propinsi Jawa Timur dan pulau Bali.
-
Wilayah pembangunan VII, meliputi propinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, dan propinsi Kalimantan Timur.
4)
Wilayah Pembangunan Utama D, dengan pusat utamanya Ujung Pandang, yang terdiri
dari :
-
Wilayah pembangunan VIII, meliputi propinsi Nusa Tenggara Barat minus pulau
Bali, Nusa Tenggara Timur, propinsi Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah,
-
Wilayah pembangunan IX, meliputi propinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara,
-
Wilayah pembangunan X, meliputi propinsi Maluku dan propinsi Irian Jaya.
Gagasan
pembagian wilayah pembangunan tersebut terutama bertujuan untuk memperkuat
kesatuan ekonomi nesional yang utuh. Inter-relationship dan inter-dependency
antara daerah pengembangan menjadi pertimbangan utama di samping adanya potensi
daerah yang menonjol.
Penggunaan
delimitasi wilayah kualitatif dalam generalisasi mengandung sejumlah kelemahan.
Hal ini disebabkan oleh cara memisah-misahkan wilayah yang satu dengan yang
lain semata-mata mendasarkan pada pengamatan yanmg bersifat kualitatif. Karena
itu, delimitasi kualitatif sebetulnya hanya cocok diterapkan ‘pre-planning
period’, dimana gambaran umum tentang sesuatu wilayah diperlukan untuk
dijadikan pedoman dalam melaksanakan langkah-langkah selanjutnya yang lebih
konkrit dan tegas.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini tentang salah satu kelemahan penggunaan
delimitasi kualitatif dalam generalisasi regional tersebut. Masalah yang
pertama berkaitan dengan pemasukan beberapa wilayah ke dalam unit pembangunan
yang sama. Dalam unit wil;ayah pembangunan IV misalnya, dimasukkannya daerah
Lampung dan sekitarnya kedalam unit wilayah pembangunan yang juga meliputi Jawa
Barat dan Jawa Tengah, jelas terlalu mendasarkan pada kriteria yang sifatnya
kualitatif. Kriteria-kriteria kualitatif ini jelas akan mengundang berbagai
masalah yang sangat menyulitkan dan perlu dipecahkan, terutama berkaitan dengan
derajat ketelitian dan derajat konsistensinya.
Masalah
yang kedua berkaitan dengan penentuan batas masing-masing wilayah pembangunan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan, batas antara wilayah pembangunan II dan
wilayah pembangunan III, terlalu sulit dimengerti. Hal ini akan merupakan
sumber persoalan yang serius pada bagian-bagian batas di daratan, karena gap
antara garis yang satu dengan garis yang lain tidak sekedar jalur sempit
(transition zone) saja, tetapi meliputi daerah yang cukup luas untuk dapat
disebut sebagai batas. Lain halnya dengan gap yang terletak di daerah perairan,
tentunya tidak akan menimbulkan masalah sedemikian besar seperti di daerah
daratan, karena secara fisik tidak akasn menimbulkan akibat yang berarti.
Akhirnya
perlu ditegaskan; untuk tujuan pewilayahan yang mendalam, teknik delimitasi
kualitatif dalam generalisasi wilayah seyogyanmya tidak digunakan.
4.
Delimitasi Kuantitatif dalam Generalisasi
Wilayah
Delimitasi yang dikerjakan pada golongan yang
kedua ini tidak semata-mata menggunakan parameter-parameter yang sifatnya
kualitatif, melainkan lebih ditekankan pada parameter-parameter yang sifatnya
kuantitatif. Data yang digunakan sebagai dasar untuk generalisasi diambilkan
dari berbagai bidang. Dari data yang terkumpul kemudian dituangkan kedalam
peta, dan akhirnya akan memberikan gambaran penyebaran data tersebut dalam
hubungannya dengan ruang.
Salah satu contoh yang sederhana dalam hal
ini adalah pewilayahan klimatologis yang dikerjakan oleh U. S. Weather Beureau.
Dalam delimitasinya, badan ini mendasarkan regionalisasi pada lokasi
station-station meteorologi yang tersebar di seluruh daerah. Dengan menghubungkan
beberapa titik (dalam hal ini diwakili oleh station-station meteorologi
tersebut), kemudian dibuat garis-garis berat dari masing-masing garis
penghubung antara dua station. Maka akan diperoleh wilayah-wilayah klimatologi
dengan batas-batas garis berat, dengan station meteorologi sebagai pusatnya,
dan wilayah tersebut berupa bentuk yang terkenal dengan sebutan polygon. Cara
ini mendasarkan pada teknik pembuatan polygon seperti dikemukakan oleh Thiesen
dan dikenal dengan sebutan Thiesen Polygon (Haggett, 1970).
Prinsip
regionalisasi di atas dapat dilihat dalam gambar 10.
Teknik-teknik
yang telah dijelaskan di muka dapat dilakukan atas data yang bermacam-macam
dengan temapt tertentu dianggap sebagai ‘core region’. Sedangkan contoh teknik
lain yang mendasarkan criteria delimitasi seperti tersebut diatas, terkenal
dengan Railly’s Law (Nelson, 1958).
Yang
dikerjakan dalam Railly’s Law adalah mencari jarak jangkau pengaruh sesuatu
pusat kegiatan. Railly’s Law juga terkenal dengan istilah Law or Retail G ravitation,
karena pertama-tama teknik ini diterapkan untuk memeplajari ‘retailing’. Dalam
treknik ini dilakukan delimitasi kuantitatif dari generalisasi wilayah tertentu
atas dasar kekuatan tarik-menarik pengaruh dari dua pusat kegiatan.
Limit
antara dua titik pengaruh kemnudian dihubung-hubungkan dan akan terdapat
kesatuan-kesatuan wilayah yang dihasilkan secara kuantitatif. Suatu hal yang
tidak dapat dipungkiri dalam hal ini adalah bahwasanya dalam batas-batas
tertentu derajat generalisasinya masih tampak besar. Dengan adanya kemajuan
dibidang elektronika pada akhir abad ini, diikuti pula oleh kemajuan di bidang
teknik-teknik menghitung secara elektronis, maka alat hitung elektronik
(computer) mulai diterapkan pula dalam teknik-teknik pewilayahan. Keuntungan
yang menyolok dari penggunaan alat ini adalah kerjanya yang cepat dan derajat
konsistensinya yang tinggi. Dalam hal ini penyebaran data dicerminkan dalam
data yang diolah dengan computertersebut. Delimitasi wilayah dapat dikerjakan
dengan jalan mendelimitasi batas-batas antara penyebaran jenis-jenis data yang
berlain-lainan.
Dari
penyebaran data seperti ditunjukkan pada gambar 12, dapat terlihat deferensiasi
data berdasarkan symbol-simbol yang dipakai dalam peta computer tersebut.
Deliniasi dapat dikerjakan dengan mudah berdasarkan penyebaran symbol-simbol
tersebut yang mewakili property tertentu.
Oleh
karena elektronis setiap data dapat diolah dengan suatu program tertentu, maka
regionalisasinya dapat disesuaikan dengan tujuan tertentu tersebut. Walaupun
sifat generalisasinya masih tampak, tetapi unsur ketelitiandan reabilitas
regionalisasinya lebih dapat dipertahankan. Dalam hal ini seorang perencana
dapat dengan mudah mengadakan identifikasi wilayah dan sekaligus mengadakan
demlimitasi wilayah atas property tertentu (Lawrence, 1971).
3. Pusat-pusat Pertumbuhan Dan factor-faktor
pusat pertumbuhan
Pusat
pertumbuhan merupakan suatu yang berkembang pesat khususnya kegiatanekonominya
sehingga menjadi pusat pembangunan daerah. Pusat pertumbuhan akanmendorong perkembangan
wilayah sekitarnya, dan pusat pertumbuhan yang munculdisuatu wilayah
dipengaruhi karakteristik wilayahnya.Perkembangan pusat pertumbuhan di suatu
wilayah ditentukan oleh faktor-faktorberikut:
a.Sumber daya alam
Daerah
yang mempunyai kekayaan sumber daya alam berpotensi menjadi pusatpertumbuhan,
misalnya penambangan bahan tambang yang bernilai ekonomitinggi di suatu wilayah
merangsang kegiatan ekonomi, memberikan kesempatankerja , dan meningkatkan
pendapatan daerah serta berpengaruh terhadapmunculnya kegiatan ekonomi
penunjang.
b.Sumber daya manusia
Sumber
daya manusia sangat berperan dalam pembentukan pusat pertumbuhan disuatu
wilayah. Tenaga kerja yang terampil, ahli, handal dan profesionaldibutuhkan
untuk mengelola sumber daya alam.
c. Kondisi Fisiografi/lokasi
Lokasi
yang strategis memudahkan transportasi dan angkutan barang, sehinggapusat
pertumbuhan berkembang cepat. Misalnya daerah dataran rendah yangberelief rata
memungkinkan pusat pertumbuhan berkembang cepat dibandingdaerah pedalaman yang
berilief kasar atau berpegunungan.
d. Fasilitas penunjang
Adanya
fasilitas penunjang akan mendukung pusat pertumbuhan uantuk terusberkembang,
contoh fasilitas penunjang diantaranya jalan, jaringan listrik,
jaringantelepon, pelabuhan laut dan udara, fasilitas air bersih, penyediaan
bahan bakar,serta prasarana kebersihan.
3.
spreet effect
Menurut
Myrdal, pembangunan di daerah-daerah yang lebih maju akan menciptakan beberapa
keadaan yang akan menimbulkan hambatan yang lebih besar kepada daerah-daerah yang
lebih terkebelakang untuk berkembang. Keadaan-keadaan yang menghambat
pembangunan ini digolongkannya sebagai backwash effect. Di samping itu
perkembangan di daerah-daerah yang lebih maju dapat menimbulkan keadaan-keadaan
yang akan mendorong perkembangan daerah-daerah yang lebih miskin. Keadaan ini
dinamakan sebagai spread effect, atau disebut juga sebagai trickle down effect.
Pemberdayaan masyarakat pedesaan dimaksudkan untuk mempengaruhi dan
memanipulasi keragaan faktor-faktor tertentu, sehingga menciptakan situasi dan
kondisi yang dapat mencegah terjadinya backwash effect, dan sebaliknya
mendukung terjadinya spread effect.
Menurut
Sukirno (1985) di antara faktor-faktor yang akan menimbulkan backwash effect
adalah,
(1)
Corak perpindahan perpindahan penduduk dari daerah miskin ke daerah yang lebih
maju. Pada umumnya penduduk yang berpindah adalah tenaga kerja yang lebih muda,
mempunyai semangat dan etos kerja yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang
lebih baik daripada yang tetap tinggal di daerah miskin.
(2)
Corak pengaliran modal. Pada umumnya permintaan modal di daerah miskin kurang,
selain itu modal lebih terjamin dan menghasilkan di daerah yang lebih maju.
(3)
Pola dan kegiatan perdagangan didominasi oleh industri-industri dari daerah
yang lebih maju. Ini menyebabkan daerah miskin mengalami kesukaran untuk
mengembangkan pasar bagi produk-produk yang dihasilkannya.
(4)
Jaringan pengangkutan jauh lebih baik di daerah yang lebih maju, sehingga
kegiatan produksi dan perdagangan mereka dapat diselenggarakan secara lebih
efisien.
Sedangkan
faktor yang mendorong terjadinya spread effect adalah berupa pertambahan
permintaan dari daerah yang lebih kaya terhadap produksi dari daerah yang lebih
miskin. Permintaan tersebut terdiri dari permintaan terhadap hasil pertanian,
hasil industri rumah tangga dan hasil industri barang konsumsi. Hasil-hasil
tersebut merupakan komoditas utama bagi daerah yang lebih miskin.
Hanya
saja sayangnya spread effect ini biasanya jauh lebih lemah daripada backwash
effect. Oleh karenanya, apabila dibandingkan tingkat pembangunan di pedesaan
(yang relatif miskin) dengan perkotaan (yang relatif maju), maka pembangunan
yang tercapai di daerah pedesaan selalu lebih lambat daripada di perkotaan.
Dalam jangka panjang, keadaan ini dapat memperburuk pola distribusi pendapatan,
baik antar wilayah maupun antar golongan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar